Kenapa Film Adaptasi Novel Sering Mengecewakan Pembaca Setia?

Kenapa Film Adaptasi Novel Sering Mengecewakan Pembaca Setia?

Read Time:4 Minute, 50 Second

Hayo, siapa yang udah nonton trailer film Dilan 1990Nggak bisa dipungkirin, trailer film Dilan 1990 ini memicu berbagai respon dari penggemar bukunya. Ada yang ngasih respon positif, ada juga yang negatif. Kita juga mungkin pernah ngalamin hal kayak gini. Suka banget sama sebuah novel, terus novel itu dibuat dalam bentuk film. Pas kita tonton filmnya, eh ternyata mengecewakan.

 

Pengalaman ini dirasain sama Rasyid Baihaqi, film enthusiast yang suka nge-review film di channel YouTube CineCribDia ini penggemar buku-buku Andrea Hirata.

“Novel Andrea Hirata yang Edensor menurutku nggak bagus. Ceritanya nggak semenarik di novel, pemainnya nggak cocok,” cerita Rasyid pas dihubungin lewat Whatsapp. Tapi, Rasyid nggak setuju pas ditanyain apakah semua film adaptasi novel pasti ngecewain. “Nggak setuju sih, soalnya ada juga adaptasi novel yang bagus. Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi bagus.”

 

ADAPTASI FILM DI INDONESIA

Proses adaptasi film dari medium lain dikenal juga dengan ekranisasi. Ecran dalam bahasa Perancis artinya layar. Istilah ini dikenalin sama Pamusuk Este dalam skripsinya yang kemudian diterbitin di majalah Tifa Sastra pada 1978. Sebenernya, istilah ekranisasi atau adaptasi nggak sebatas berlaku buat pengadaptasian cerita dari novel. Cerpen, puisi, bahkan sampe cerita rakyat pun termasuk ke bahan ekranisasi film. Seperti yang kita semua tau, Lutung Kasarung, film pertama yang diproduksi di Indonesia, diadaptasi dari cerita rakyat.

Dilansir dari Cinema Poetica, sejak 1927 sampe 2014 seenggaknya ada 240 film yang diadaptasi dari novel, baik novel dalam negeri ataupun luar negeri. Jumlah ini mewakili lebih dari tujuh persen film yang diproduksi di Indonesia sampe 2014. Kebanyakan film-film tersebut diproduksi dalam waktu kurang dari lima tahun sejak novelnya terbit. Bahkan, seenggaknya 140 film di antaranya diproduksi kurang dari dua tahun sejak novelnya terbit dan jadi best seller. Tapi ada juga lho film adaptasi yang baru diproduksi puluhan taun sejak novelnya terbit. Contohnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013) yang diadaptasi dari novel karya Hamka yang diterbitin taun 1938.

Di dunia, film-film adaptasi yang bener-bener sukses di antaranya The Lord of The Rings, Harry Potter, Charlie and The Chocolate Factory, Narnia, dan masih banyak lagi. Proyeksi imajinasi tentang setting fantasy yang dibayangin sama pembaca akhirnya jadi nyata setelah diwujudin bentuk filmnya.

 

KOK BISA NGECEWAIN?

Ada yang bilang, jangan baca novel yang udah diadaptasi ke film sebelum kita nonton filmnya. Nanti kita bakalan kecewa berat, guys. Mending nonton dulu baru baca deh, biar aman!

Eits, sebelum membenarkan pernyataan di atas, ada hal-hal yang harus kita ketahuin dari proses pembuatan film adaptasi. Kita ngerangkum lima hal yang harus kita perhatiin sebelum nge-jugde film-film adaptasi yang ngecewain karena nggak sesuai sama bentuk aslinya.

 

PERBEDAAN BATASAN DURASI

Ini adalah perbedaan paling jelas dari proses pengadaptasian suatu cerita ke bentuk film. Di film, ada batasan durasi yang mau nggak mau harus diturutin sama filmmaker. Ketika kita kecewa karena ada adegan di novel yang nggak muncul dalam film, ingatlah sama batasan durasi ini. Tim pembuat film nggak mungkin nggak ngediskusiin dulu sama kreator aslinya soal adegan mana yang dimunculin, ditambahin, dan dihapus. Bahkan, sekarang-sekarang nggak sedikit kreator asli cerita – biasanya penulis novel atau cerpen – yang ikut terlibat dalam penulisan skenario filmnya. Mereka di antaranya Adithya Mulya (Sabtu Bersama Bapak) dan Dewi Lestari (Perahu Kertas). Nah, Buat ngakalin keterbatasan durasi, beberapa film adaptasi novel bahkan ada yang dibuat jadi dua bagian, contohnya Harry Potter and The Deathly Hallows yang dibikin jadi 2 part.

 

PERUBAHAN STRUKTUR CERITA 

Struktur cerita di film dan bentuk aslinya bisa jadi berbeda. Sebuah cerita dengan alur maju alias progresif di bentuk aslinya, misalnya, belum tentu diproduksi dengan alur yang sama dalam bentuk film. Contohnya, Filosofi Kopi. Terlepas dari adanya perluasan cerita, Filosofi Kopi memuat adegan flashback yang nggak ada di cerpennya. Perubahan struktur ini terjadi juga di film Galih dan Ratna (2017).

 

IMAJINASI PEMBACA VS IMAJINASI FILMMAKER

Kalo sebuah film merupakan adaptasi buku, imajinasi pembaca seringkali nggak sejalan sama imajinasi filmmakernya. Imajinasi pembaca biasanya merupakan wujud dari imajinasi penulisnya. Apa yang ditulis oleh kreator, itulah yang diimajinasikan pembaca. Tapi buat filmmaker, imajinasi terbaik adalah imajinasi yang bisa direalisasiin dalam bentuk visual dan audio. Benturan utama dari imajinasi bagi filmmaker tentu aja budgeting alias biaya produksi.

 

VISI FILMMAKER VS VISI PENULIS 

Visi penulis adalah membuat pembacanya mengimajinasikan realita yang ditulisnya. Sementara itu, visi filmmaker adalah merealisasikan imajinasi sang penulis. Ingat, imajinasi sang penulis, bukan pembaca. Maka, yang diajak diskusi ketika filmnya dibuat tentu aja sang penulis dan bukan pembacanya. Selain itu, filmmaker juga punya visi ekonomi yang beda sama visi ekonomi penulis. Kalo penulis cuma perlu mikirin hubungan ekonomi dengan penerbit, filmmaker harus mikirin hubungan ekonomi di dalem dan luar tim. Di dalem tim, filmmaker harus secermat mungkin ngelakuin budgeting semua departemensementara ke luar tim, filmmaker harus mikirin distribusi filmnya.

 

MEDIANYA SENDIRI UDAH BERBEDA

Hal terakhir dan terpenting yang perlu kita inget adalah medium yang berbeda. Di buku, kita cuma ngandelin visual lewat aktivitas membaca. Kalo di film kita nikmatin juga audionya. Dalam film dikenal istilah bahasa visual, alias pesan lewat gambar yang nggak perlu diutarain pake kata-kata. Selain itu, meskipun pasar utama film adaptasi adalah penikmat bentuk asalnya, kita juga nggak boleh lupa sama khalayak yang pertama kali ngonsumsi suatu cerita lewat filmnya. Jadi, ketika suatu film diadaptasi dari buku, maka pasar film itu nggak cuma pembaca buku tersebut, tapi juga orang-orang awam yang sama sekali belum baca bukunya.

Kalo kata Dewi Lestari lewat tanya jawab di blognya, Setelah berkali-kali buku saya difilmkan, kesimpulan saya satu: membuat film dari buku sebaiknya jangan ditujukan untuk memuaskan pembaca. Kalau tujuannya sekadar itu saja, jelas tidak mungkin dilakukan. Tugas utama pembuat film adalah bikin film bagus. Itu saja. Cerita bisa diadaptasi dari buku atau naskah orisinal, tidak masalah. Setiap karya, mau itu film atau buku, pasti akhirnya akan ada yang suka dan tidak. Jadi, bagi saya, sama-sama saja.

 

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *